Hari kedua
Car Free Day HI
|
Car Free Day |
Pagi menjelang dan aku bangun
agak terlambat dari pelukan sang surya. Malam itu aku menginap di kosan seorang
kawan dari Kampus yang satu jurusan denganku. Baru mengetuk pintunya jam setengah dua belas malam nampak
keterlaluan. Tapi di Jakarta, kota yang tidak pernah berhenti ramai, hal itu
tidak berlaku, Bahkan dia sedang segar-segarnya mengerjakan tugas tengah malam
itu. Kini pagi sudah hampir berjalan setengah, waktu menunjukkan pukul delapan
saat aku mencoba membangunkan dia yang tidur beralaskan komputer lipat.
“Aku harus pergi”, bisikku.
Dia mengangguk pelan tanpa
mengangkat kepalanya sedikitpun dari bantal komputer lipat. “Jakarta yang
plural”, ujarku sambil membuka lipatan sepeda yang disimpan di bawah lemari
sepatu semalaman. Hari itu aku berencana singgah di Jakarta Utara. Konon Jakarta
yang lama pertama kali lahir di sini dan wisata selain waterpark atau mall pun
lebih banyak berawal dari sini.
Dari Jakarta Selatan ke Jakarta Utara,
aku memutuskan untuk melipat sepedaku dan bepergian menggunakan kereta saja.
Menghemat tenaga untuk nanti, pikirku. Mungkin jaraknya sekitar tiga puluh atau
empat puluh kilometer dari Selatan Jakarta menuju ke sisi Utaranya.
Kereta di sini ternyata berbeda
dengan kereta di daerah lain. Bukan hanya karena ada listrik di atasnya, tapi
juga kultur dan kebiasaan para penggunanya. Dari Stasiun Universitas Indonesia
di ujung Jakarta Selatan ke Stasiun Sudirman di tengah kota, uang yang harus
dibayar akan ditukar dengan satu tiket plastik dan uang kembali. Keretanya
mengesankan! Bersih, dingin dan cepat saat akhir pekan. Aku menjadi pusat
perhatian karena membawa sepedaku masuk ke dalam kereta yang kelewat bersih,
atau karena celanaku yang kelewat kotor terkena oli dari gerigi sepeda yang lupa kubersihkan semalam.
Sama saja, dua-duanya menjadi alasan mengapa aku terlihat tidak bersama
kerumunan dalam kereta ini. Aku berusaha memejamkan mata, mematikan salah
tingkah dan menghalau pandangan mereka terhadap celanaku yang kotor. Pemberhentianku
terpaut sepuluh Stasiun dari Universitas Indonesia, Stasiun Sudirman adalah
salah satu yang menjadi denyut nadi pembawa pekerja-pekerja komuter dari kota
satelit menuju cubicle masing-masing
pada hari kerja.
Hari itu sedang ada Car Free Day. Hari dimana jalan-jalan di
beberapa daerah ditutup dan digunakan untuk sarana olahraga pada jam-jam
tertentu. Aku beruntung datang ke jakarta saat CFD ini sedang berlangsung. Kita
dapat melihat wajah Jakarta yang lain di sini. Gedung-gedung menjulang yang
mendadak sepi dan dingin dilindungi oleh kaca tebal serta lampu lobby yang berbinar. Menyejukkan banyak
pasangan atau keluarga yang bertamasya dan berolahraga di jalan raya. Aku
mengunjungi seorang teman lain yang gemar berkomunitas. Ya, selain untuk
olahraga, CFD pun menjadi tempat favorit untuk berkomunitas. Banyak komunitas
yang tumbuh dan berkembang di sini baik untuk melakukan pertemuan mingguan atau
sekedar melepas rindu pada kawan yang se-hobi. Aku berkelakar dan bercanda bersama
komunitas yang sudah lama tak ku jumpai lagi, Senang melihat banyak anak muda
seperti mereka masih berkomunitas, Membangun jaringan pertemanannya masing-masing
untuk masa depan, Siapa yang tahu teman di sebelahmu menjadi presiden suatu
saat nanti, Tidak ada yang tahu. Tak terasa hari kian terik dan CFD akan segera
usai, Gerbang kesunyian Jakarta akan kembali dibuka dan jalanan akan kembali
penuh. Aku segera berpamitan pada teman dan komunitasnya.
RAGUSA Italian Ice Cream
|
Ragusa Dahulu |
Yang menyenangkan saat hari
terik? Bagaimana kalau es krim? Jakarta punya cerita es krim yang lezat. Nama parlournya adalah Ragusa. Berada
di Jalan Veteran I No. 10 dan sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Ragusa
berasal dari nama keluarga Italia, yang datang ke Indonesia saat awal
kemerdekaan untuk mempelajari taylor. Pada awalnya lokasi es krim Ragusa bukan
berada di dekat mesjid Istiqlal seperti sekarang, melainkan di Pasar Gambir
yang sekarang dikenal menjadi arena Pekan Raya Jakarta. Es krim Ragusa sudah
ada sejak 1932. Orisinalitas resepnya dijaga sebaik mungkin hingga tidak
menggunakan bahan pengawet dalam pengolahan es krimnya. Harganya cukup
murah mulai dari Rp. 12.000 hingga Rp. 27.000.
|
Spaghetti Ice Cream |
Signature dishnya adalah
Spaghetti Ice Cream, es krim vanilla berbentuk lembaran-lembaran seperti mie dengan taburan cokelat dan kacang. Aku
memesan itu sambil melirik kiri-kanan, Tempatnya tidak begitu besar, Pikirku.
Dengan interior yang simple dan foto-foto es krim yang banyak, tempat duduknya
cukup nyaman untuk makan berlama-lama. Namun jika akhir pekan ternyata cukup
ramai dengan keluarga yang baru selesai bertamasya atau memang akan transit ke
suatu tempat saat menikmati hari libur. Parlour es krim yang menyenangkan, Ucapku
dalam hati sambil berjalan keluar dan menggunakan helm sepeda. Sedikit merasa
tidak aman meninggalkan sepeda di pelataran luar.
Monumen Nasional
|
Monumen Nasional |
Tidak jauh dari situ terlihat
satu tiang panjang dengan sesuatu yang berkilauan di puncaknya. Ya, itu adalah
Monas. Lokasi Parlour es krim Ragusa ini sangat dekat dengan Monumen Nasional.
Monumen ini dibangun untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat yang
merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda dahulu. Monumen
ini terbuka sebagai museum dari pagi hingga setengah sore setiap harinya
kecuali hari senin di minggu terakhir setiap bulannya. Disana ada relief
sejarah yang menceritakan tentang sejarah Bangsa Indonesia, mulai dari
singhasari dan majapahit hingga era pembangunan modern. Selain itu, ada juga
Museum Sejarah Indonesia di dalam bagian bawah monumen yang menampilkan diorama-diorama
perjalanan bangsa mulai dari jaman kolonial hingga jaman program Pelita dibawah
pemerintahan Presiden Soeharto dahulu. Juga
ada ruang kemerdekaan, dimana semua benda yang memiliki nilai sejarah
disimpan. Mulai dari naskah asli proklamasi, bendera asli yang dikibarkan saat
17 Agustus 1945, peta kepulauan Indonesia yang berlapis emas, juga dinding yang bertuliskan proklamasi
kemerdekaan bangsa. Semua dibuat megah dan mewah. Perpaduan teknologi,
kemewahan dan sejarah yang dapat dibanggakan oleh Jakarta, bahkan Indonesia. Melihat
semua ini, ternyata banyak sekali yang telah dikorbankan dan diperjuangkan
hingga kita dapat berdiri sekarang. Terima kasih para pahlawan, atas jasamu
yang membebaskan.
Taman Ismail Marzuki
|
Taman Ismail Marzuki |
Awan sudah beringsut lagi saat
aku keluar dari kawasan Monas. Baru saja panas, kini cuaca sedang mempersiapkan
hujan. Tujuan selanjutnya adalah Pusat Kesenian Jakarta Taman ismail Marzuki,
Letaknya tidak jauh dari Monumen Nasional, Bersepeda sekitar 15 menit ke arah
timur hingga jalan Cikini Raya 73. Taman ini memiliki banyak teater modern,
balai pameran, galeri, gedung arsip, dan juga bioskop. Saat sedang berkunjungi ke sini, TIM sedang
ramai dengan gelaran acara Asean Lirerary Festival. Aku memutuskan untuk singgah
dan berjalan-jalan sejenak. TIM sepertinya memang tempat semua seni berkembang
biak dengan bebas tanpa KB, Sepanjang jalan dari pintu masuk hingga ke venue
acara banyak hasil karya yang dipajang di pinggir jalan. Asean Literary
festival adalah festival yang bertema buku dan literatur, Banyak pecinta buku
yang datang kesini, banyak juga workshop dan pembahasan mengenai sastra oleh
pembicara-pembicara yang terkenal. Aku bermaksud menemui seorang kawan yang
juga gemar menulis serta para penggiat puisi dan sastra. Menyenangkan dapat
berkumpul dengan orang-orang yang sama-sama gemar menulis dan membacakan puisi.
Tak lama berselang, awan menjatuhkan sedihnya, hujan turun cukup lama membasahi
Jakarta di hari minggu yang tidak senggang. Memangkas waktuku yang terbatas di
kota ini.
Metropole (Megaria)
Segera setelah hujan mulai mereda
dan jalanan mengering, aku kembali melanjutkan perjalananku, waktu menunjukkan
pukul setengah empat kala itu. Tinggal sedikit waktu yang tersisa dan masih ada
banyak tempat yang belum terkunjungi di Jakarta Utara. Hujan yang menggigil
tadi mendinginkan perut yang memang belum mengunyah makanan berat sejak tadi
pagi, maka aku memutuskan untuk kembali berjalan sedikit ke arah Timur, sekitar
dua kilometer dari TIM, tepat di seberang kawasan stasiun kereta Cikini.
|
Pempek Megaria |
Di sini masih berdiri tegak gedung
yang dahulu bernama Megaria, Bioskop tua dengan beberapa ruangan menonton yang
terpisah dan makanan-makanan yang enak. Dahulu, Bioskop ini adalah tempat para
mahasiswa berkumpul dan bernegosiasi atau membentuk aksi, mengingat letaknya
dekat dengan kantor suatu partai dan banyak Universitas. Selain sejarahnya yang
panjang, Megaria pun menjaga satu makanan yang tak kalah tua dengan sejarah
gedungnya, makanan itu adalah pempek Megaria yang katanya paling enak di daerah
Jakarta. Bayangan pertama saat mendengar megaria? Tempat makan yang kecil dan
lawas berwarna putih kecokelat dengan kipas angin besar-besar yang berputar
lamban, pelayan yang menggunakan dress pendek atau kemeja putih yang dimasukkan
ke celana dengan dua saku di masing-masing dada. Meja-meja kayu yang mengkilat
dengan pintu masuk tanpa pintu dan jendela tanpa daun jendela, Tempat makan yang
mengundang nostalgia. Namun zaman telah
berubah, dan pempek megaria pun begitu. Maka aku menyandarkan sepedaku, masuk
dan memesan tempat duduk tepat di sisi jendela yang tingginya sebahu. Tempat
makannya kini ber-AC dan nyaman, hanya mungkin terlalu kecil untuk ukuran
makanan populer Kota, Harganya berkisar
antara Rp 15.000 – Rp 30.000 rupiah untuk satu orang. Mungkin yang
membedakannya dengan pempek lain adalah adonan yang digunakan, Mempunyai wangi
yang khas. Jangan lupa kuahnya, itu juga enak. Tempat makan ini penuh dan
selalu mondar-mandir, jadi aku tidak bisa berlama-lama.
Jakarta Kota
“Mari berangkat mengejar sunset
di Utara”, ujarku. Metropole sangat dekat dengan stasiun Cikini, jadi untuk
Menghemat waktu dan tenaga aku melipat sepeda lagi dan pergi lebih ke Utara
menggunakan kereta ber-AC yang kelewat bersih seperti tadi pagi. Menuju kota
Jakarta yang asli, Kota tua.
Hari terakhir di kota Jakarta, sudah
dua hari dan aku mulai kelelahan hingga tertidur di kereta menuju Jakarta Kota.
Stasiun Kota sendiri merupakan sisa peninggalan zaman Hindia Belanda, mulai
dari sini hingga pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung priuk adalah kawasan wisata
yang ditetapkan oleh pemerintah. Stasiun Jakarta kota mempunyai bentuk gedung
yang setengah bulat lonjong besar, seperti bolu gulung jika dilihat dari udara mungkin.
Beberapa kilometer jauhnya dari Stasiun Kota, rel menghubungkan kereta menuju
stasiun yang tidak kalah tua. Kekasih jauh Stasiun Jakarta Kota, Stasiun
Tanjung Priuk. Stasiun Tanjung Priuk juga merupakan salah satu obyek wisata
yang bisa di kunjungi saat berada di Jakarta. Secara keseluruhan semua obyek
wisata yang ada di Jakarta bagian Utara ini menceritakan satu hal yang sama, perjalanan
dan sisa-sisa kejayaan Batavia pada zaman kolonian Hindia Belanda. Keluar dari
Stasiun Jakarta Kota, kota ini sekilas indah, jika kita dapat mengaburkan
pandangan pada kekumuhan yang ada di bawahnya. Berjalan-jalan kecil dengan
pasangan ditemani lagu white shoes and
the couple company berjudul vakansi mungkin sangat cocok menggambarkan
keadaan Kota Tua Jakarta sore itu.
Angin dan udara yang sejuk
setelah hujan, tempat penjual mayang sari yang manis berwarna-warni,
lampu-lampu kota yang sudah nyala walau belum gelap dan jalanan yang dibuat
tidak beraspal, Terlihat menyenangkan bukan? Di sekitar Stasiun Kota banyak
museum-museum tua yang bisa disinggahi dengan berbagai koleksi yang menarik.
Namun saat aku tiba di kawasan kota tua ini jam menunjukkan pukul lima,
Beberapa museum sudah mengunci pintu, kecuali beberapa galeri dan café yang ada
di sekitar lapangan besar di depan museum Fatahillah. Pelataran Fatahillah masih
ramai dan nyaris penuh dengan para seniman yang mewarnai dirinya juga anak-anak
yang bermain dengan pistol-pistolan sedangkan Ibu dan ayah duduk di tepian sambil
menikmati sore. Jakarta adalah ibu kota dengan jumlah penduduk yang banyak dan
tempat rekreasi terbuka yang sedikit. Mungkin itu alasannya mengapa setiap
tempat rekreasi yang ada selalu penuh.
Satu setengah hari, dan aku belum menemukan tempat yang benar-benar nyaman di
Jakarta.
Sunda Kelapa
Perahu-perahu besar menyandarkan
sauh, mengikatkan tambat masing-masing dan para pekerja di atasnya melompat
sambil berteriak-teriak, sedangkan yang di bawah bersiap untuk menangkap.
Barang-barang diturunkan dari lambung kapal, pindah ke mobil-mobil yang hilir
mudik keluar masuk. begitulah kegiatan pelabuhan Sunda Kelapa di kala sore hari
menjelang. Aku duduk menikmati angin pesisir sambil memperhatikan mereka
berkegiatan diterangi matahari yang sudah tidak lagi kuning. Bertahun-tahun
lalu, jauh sebelum kelahiranku, di sini, para pedagang dari seluruh Asia bahkan
Eropa datang dan berdagang, Kota yang dahulu sering disebut jamrud
khatulistiwa, Negara yang selalu menjadi tujuan bangsa-bangsa besar, Bangsa
yang memiliki seratus ribu potensi dan tak akan surut digali, gerbang menuju
Perkulakan rempah-rempah yang menjadi candu bagi siapapun yang mencicipinya.
|
Sunda Kelapa kini |
Kini, keadaan Sunda Kelapa sebagai
bukti sejarah sudah mulai terlupakan. Pelabuhan besar yang dahulu menjadi
gerbang tetap ada, Namun tanpa unsur estetika sama sekali, hanya ada galangan
kapal dari beton yang di cor asal dan beberapa tiang pancang untuk jangkar
serta perahu-perahu tua yang berlabuh di air setengah hitam yang dangkal
berisikan banyak sampah. Benar-benar seperti pelabuhan bongkar muat biasa. Hanya
sedikit keindahan sunset yang tersisa dan dapat dinikmati. Aku harap sedikit
keindahan yang tersisa ini dapat dipertahankan, karena aku ingin membawa
anak-anakku kembali suatu saat nanti. Untuk meperlihatkan sejarah ibu kotanya
yang dulu pernah jaya.
Angin mulai mengencang seraya
turunnya sang surya menuju peraduan, sudah mulai memerah rupanya. Dua orang
wanita berjalan menenteng kamera, persis seperti juru kamera perang yang telah
usai bertugas. Menajamkan runcing kamera masing-masing, menangkap setiap
kegiatan yang sedang kuselami juga. Ternyata mereka berasal dari Jakarta, walau
bukan etnis asli daerah ini. Usai kami berbincang. Pun sama denganku, mereka
mencari sisa-sisa keindahan yang ada di Sunda Kelapa. Bagaimana etnik di kota
Jakarta yang keras bertahan hidup dan beradaptasi selama bertahun-tahun. Namun aku
dan mereka, merekam dengan senjata yang berbeda. Aku kata, Mereka Gambar. Kami
berbincang mengenai banyak hal, seperti kawan yang pernah akrab dan lama tak
bersua. Sambil menikmati sunset di geladak kapal yang kosong dan bergoyang.
Matahari, berjalan sedikit lebih cepat hari itu. Meninggalkan siluet wajah
masing-masing sebelum pergi.
Muara Angke
“Aku akan ke Barat”, ujarku pamit
kepada dua orang wanita itu. Aku ingin melihat perkampungan pesisirnya sebelum
meninggalkan Jakarta.
“Baiklah, nampaknya kita akan
berpisah di sini”, tukasnya singkat.
Dan kami bertiga saling
meninggalkan punggung tanpa ada kata selamat tinggal, Pelabuhan Sunda Kelapa
cukup untuk saat ini. Tujuan terakhir di Jakarta adalah Muara Angke, letaknya
di ujung Barat Jakarta, berdekatan dengan Pluit, sekitar enam kilo bersepeda dari
Muara Angke. Perjalanan menuju ke sana
sudah gelap, aku hanya membawa reflektor sepeda bagian belakang, jadi aku lebih
berhati-hati saat menemukan persimpangan, yang ada di dalam benakku saat
mendengar Muara Angke adalah pelabuhan di pantai terbuka dengan kapal-kapal
pengangkut ikan bergantian hilir mudik dan penadah yang mendirikan warung dari
terpal menggunakan penerangan lampu lilin, kultur yang indah dan dapat
dinikmati oleh mata. Setengah perjalanan menuju kesana, kenyataan tidak selalu
seindah bayangan. Tepat di pesisir pantai, Apartemen-Apartemen tinggi menjulang,
Mal-mal bertajuk baywalk dan beach side betebaran dimana mana, lampu
gemerlapan memancarkan cahaya seperti bara api yang membakar dalam kemewahan,
Ini seperti pergi ke dunia lain, Dunia dimana mahluk asing dengan make up tebal
dan wangi parfum menyengat tinggal, dengan pesawat-pesawat berbentuk mobil lux
berkilatan yang siap tinggal landas dibekali dengan kecanggihan dan segala
fasilitas. Pesisir pantai pun tidak luput terkena peninggian modern, cukup
mengecewakan memang untuk seseorang yang bersusah mencari keaslian jati diri
suatu Kota.
Muara Angke terletak di belakang
tembok tinggi apartemen dan mall. Tempat yang bisa dibilang cukup kumuh dan
gelap. Dengan sedikit penerangan, bau amis laut, dan banyak ikan-ikan segar
yang beterbangan kemana-mana, di lempar penjualnya menuju ember-ember yang
diurutkan berdasarkan ukuran. Aku berhenti di penjaja otak-otak berbungkus daun
pisang yang masih hijau di pinggir jalan, tepat berhadapan dengan tukang lempar
ikan tadi, memperhatikan sirkus pemilahan ikan yang cepat namun akurat. Aku pun
dengan cepat memakan puluhan otak-otak kecil yang terus dikipasi sampai hangat
oleh ibu penjual yang sendalnya sama dengan anaknya.
|
Udang Merah |
Di Muara Angke ini, ikan segar dapat
dibeli sendiri dan dibakar sendiri dengan harga yang lebih murah dari biasanya.
Aku mencoba dan mendapatkan udang merah serta udang cekrek dengan mahar Rp
100.000 serta biaya kipas Rp 25.000.
Nampaknya aku akan berhenti disini, Menghilangkan kekecewaan terhadap Jakarta
yang lupa mengurusi pariwisatanya bersama udang-udang kecil yang sudah memerah
diatas bara yang ungu, menutup senja terakhir di ibu kota. Jakarta, sebagai
kota metropolitan mengerjakan tugasnya dengan baik, Tapi tidak pada wisata.
Kecuali makanan serta udang merahnya yang ranum dan lezat, Aku suka.
Minggu depan, folding bike
traveler akan berangkat dari kota pelupa Jakarta menuju kota yang sering di
puji puja sebagai Paris dari Jawa, Kota dingin yang indah di cerukan gunung. Bandung
dan selingkuhannya Lembang. Sebenarnya aku sedang mempersiapkan Ujian Tengah
Semester saat menulis bagian mengenai Jakarta ini. Namun, Jadwal untuk folding biike traveling sudah tersusun
hingga minimal satu setengah bulan ke depan. Semoga di perjalanan selanjutnya,
kita dapat lebih menyelami bagaimana etnik suatu daerah bersahabat dengan
daerahnya. Jadi, selamat belajar dan sampai jumpa di Posting berikutnya.
Yudith tri
Folding Bike Traveler
@foldingtraveler
--