“Selain mall dan waterpark yang
sudah banyak?”, timpalnya dengan nada yang sedikit rendah, menandakan ragu.
“Ya.”, ucapku singkat sambil
menarik risleting Windbreaker dan
beranjak pergi. Jakarta juga
seharusnya punya budaya yang menyenangkan untuk diselami. Gumamku dengan nada
yang sama rendahnya karena Sedikit ragu. 22-23 Maret 2014, dua hari ini adalah perjalanan
pertama untuk dikumpulkan dan dirangkai menjadi petualangan yang lebih besar suatu
saat nanti. Aku memulai perjalanan dari sisi sebelah selatan Kota Jakarta, tempat
para pekerja ibu kota melabuhkan sangkarnya usai lelah mencari makan, Jaraknya
sembilan belas kilo meter jauh dari pusat kota. Angin mengalir mendung
sepanjang perjalanan hari pertama. Jalanan di Jakarta tampaknya memang selalu
penuh dengan sesuatu, entah itu tujuan atau sekedar kebut-kebutan. Jalan di
Jakarta selalu penuh oleh alasan.
Taman Mini Indonesia Indah
Destinasi pertama di hari yang
pertama adalah TMII, Taman Mini Indonesia Indah. Taman kebanggaan ibu kota yang
dibuat seperti hiasan bola air yang dikocok menyembulkan salju. Berlokasi di
Jakarta Selatan yang berdekatan dengan Terminal Bus Kampung Rambutan. Wonderland yang kelihatan sempurna,
ucapku saat mulai melintasi kubah keong mas yang berfungsi sebagai teater.
Tempat yang cukup bagus dan sarat pengetahuan, gumamku. Di kejauhan terlihat
gerombolan anak-anak TK yang berbaris lucu mengikuti induknya. Seperti bebek di
pematang sawah dengan wek-wekan kecil penuh rasa ingin tahu sembari menenteng
botol minum yang lucu berwarna biru muda atau merah ke-ungu-an dengan
bunga-bunga putih. Di TMII banyak sekali museum atau tempat-tempat untuk
belajar sesuatu. Ada museum tentang listrik, iptek, perbintangan, kubah
kupu-kupu dan rumah adat dari berbagai budaya di Indonesia. Mungkin jika
dikelaskan, TMII adalah tempat wisata dengan ilmu pengetahuan sebagai daya
tarik utamanya, akan menyenangkan membawa anak-anak kecil yang masih cerewet
untuk bertanya bagaimana proses listrik terjadi, atau kenapa bumi itu bundar,
Para orang tua dapat menjadi pahlawan yang serba tahu untuk anaknya. Oleh
karena itu, sebuah keheranan muncul saat melihat sepasang kekasih bergenggaman
tangan dan berjalan saling berdempet, berbincang dengan muka hampir saling
menyentuh. Berusaha berpikir positif, mungkin kedua sejoli ini ingin belajar
lebih banyak tentang bintang-bintang yang menaungi cinta mereka. Maka aku
meninggalkan bebek-bebek kecil dan burung sejoli itu dalam kerlingnya hiasan
bola air yang dikocok menyembulkan salju. Aku bergerak pergi lebih ke Barat,
memunggungi matahari dan meninggalkan Wonderland
yang kelihatan sempurna itu. Sudah cukup siang untuk mencari sesuatu yang bisa
dimakan.
Kampung Betawi Setu Babakan
Selesai untuk TMII, pikirku.
Terlalu ribet untuk membawa sepeda mengunjungi anjungan per anjungan satu-satu,
Juga daftar hadir anjungan per anjungan satu-satu. Aku menghela nafas dan
melakukan shifting sepeda ke gigi yang lebih rendah, baru saja keluar pintu
masuk TMII, jalanan yang tadi pagi sedikit lengang sudah kembali penuh.
Nampaknya aku harus mulai membiasakan diri dengan Jalanan di Jakarta yang selalu penuh oleh
alasan. Masih berada di sekitar Jakarta Selatan, destinasi kedua aku akan
mengunjungi Setu Babakan, yang katanya merupakan kampung asli Suku Betawi yang
sebenarnya suku asli kota Ex-Batavia ini. Yang mengherankan, tempat ini bisa
dibilang terpencil. Terlewatkan oleh tol dan hanya menjadi jalur alternatif
dari kemacetan arah Depok menuju Jakarta.
Mungkin jika tidak ada bisikan
yang memberitahuku bahwa di situ terdapat suku asli, akupun akan melewatkan
tempat ini. Lokasinya cukup jauh dari
akses jalan besar, juga sangat sedikit rambu arah menuju tempat wisata ini. Jalannya
kecil namun rapi tapi tetap penuh. Jika jeli, mungkin akan ada beberapa marka
jalan yang menyebutkan nama Setu Babakan. Letaknya hampir di tengah-tengah
perkampungan warga. Baiklah, namanya memang Perkampungan Warga Betawi. Di
kejauhan tampak gerbang yang menjadi pertanda selamat datang, ternyata aku berada di tempat yang benar. Setu
babakan ini, seperti layaknya tempat wisata, memiliki atraksi utama dan
display-display kerajinan hasil rakyatnya. Yang menjadi perhatian utama di
tempat wisata ini adalah bebek. Perahu berbentuk bebek, maksudnya. Banyak
keluarga-keluarga yang berpiknik di pinggir danau, memperhatikan anak-anaknya
main, atau bercengkerama air bersama di tengah danau dalam perahu bebek yang
lucu. Tempat yang cocok untuk menghilangkan kepenatan ibu kota, berada di
tempat yang belum terlalu terkenal dan belum banyak diketahui orang. Cukup sepi
dan nyaman untuk hitungan wisata yang letaknya di tengah ibu kota.
Orkes Universitas Indonesia
Mendekati sore cuaca sudah
menunjukkan tanda-tanda tidak bersahabat, agak murung nampaknya. Destinasi
selanjutnya hari ini adalah segenggam tiket Musikampus Orkes Simfoni
Universitas Indonesia yang sedang berlangsung hari itu. Letak Kampus Universitas
Indonesia benar-benar di margin ujung Jakarta Selatan, berhimpitan dengan
gerbang selamat datang kota Depok. Sebagian wilayah kampus ini masih termasuk
Jakarta Selatan dan sebagian sudah termasuk Depok. Benar-benar sisi batas
Selatan kota. Hesti, kawan lamaku yang memberikan tiket ini memberitahukanku
untuk datang tepat waktu jam tiga. Namun, entah terlalu patuh atau memang
jadwal perjalanan yang acak-acakan. Jam satu aku sudah menyelesaikan dua
destinasi dan tak tahu hendak kemana.
Aku suka musik klasik yang
dibawakan kembali. Musik klasik, layaknya lukisan memiliki pengartian berbeda,
tergantung bagaimana dan apa cara pandang yang digunakan untuk mendengar musik
tersebut. Nampaknya ini konser pre event kecil yang menjadi pembuka
konser yang lebih besar nanti, belum banyak yang datang jam tiga tepat, barisan
penonton belum begitu penuh. Padahal ruangan audionya sendiri sudah kecil. Aku
bersyukur mendengar bahwa tiket yang dijual sold
out. Sayang karena mereka yang
terlambat melewatkan beberapa aransemen musik yang bagus. Menurutku musik-musik
ini tidak terlalu banyak terpapar publik jika dibandingkan musik-musik modern, atau
mungkin publik yang belum dapat menikmati musik klasik seperti cara mereka
menikmati musik yang lebih easy listening.
Beberapa bulan ke depan OSUI Mahawaditra ini akan bertandang menuju Australia.
Aku berharap mereka dapat tetap membawa pesan musik klasik hingga ke sana.
Tidak terlalu banyak yang dapat
diceritakan pada hari pertamaku tiba di Jakarta. Coretku di sebuah catatan kecil yang dapat
diselipkan di saku celana. Aku menghabiskan sisa malam setelah konser dengan diam
di sebuah kafe pinggiran Jakarta, menikmati orang yang hilir mudik menerjang
kemacetan dari balik kaca, mendengarkan orang-orang membaca puisi dari
komunitas pecinta puisi dan memesan satu gelas minuman cokelat hangat. Jakarta sebagai kota metropolitan, menjalankan
tugasnya dengan baik.
--
:)
BalasHapuskota lain kapan?