Jumat, 28 Maret 2014

Folding Bicycle Traveler: Jakarta Day 2

Hari kedua


Car Free Day HI

Car Free Day
Pagi menjelang dan aku bangun agak terlambat dari pelukan sang surya. Malam itu aku menginap di kosan seorang kawan dari Kampus yang satu jurusan denganku. Baru mengetuk pintunya  jam setengah dua belas malam nampak keterlaluan. Tapi di Jakarta, kota yang tidak pernah berhenti ramai, hal itu tidak berlaku, Bahkan dia sedang segar-segarnya mengerjakan tugas tengah malam itu. Kini pagi sudah hampir berjalan setengah, waktu menunjukkan pukul delapan saat aku mencoba membangunkan dia yang tidur beralaskan komputer lipat.

 “Aku harus pergi”, bisikku.

Dia mengangguk pelan tanpa mengangkat kepalanya sedikitpun dari bantal komputer lipat. “Jakarta yang plural”, ujarku sambil membuka lipatan sepeda yang disimpan di bawah lemari sepatu semalaman. Hari itu aku berencana singgah di Jakarta Utara. Konon Jakarta yang lama pertama kali lahir di sini dan wisata selain waterpark atau mall pun lebih banyak berawal dari sini.

Dari Jakarta Selatan ke Jakarta Utara, aku memutuskan untuk melipat sepedaku dan bepergian menggunakan kereta saja. Menghemat tenaga untuk nanti, pikirku. Mungkin jaraknya sekitar tiga puluh atau empat puluh kilometer dari Selatan Jakarta menuju ke sisi Utaranya.

Kereta di sini ternyata berbeda dengan kereta di daerah lain. Bukan hanya karena ada listrik di atasnya, tapi juga kultur dan kebiasaan para penggunanya. Dari Stasiun Universitas Indonesia di ujung Jakarta Selatan ke Stasiun Sudirman di tengah kota, uang yang harus dibayar akan ditukar dengan satu tiket plastik dan uang kembali. Keretanya mengesankan! Bersih, dingin dan cepat saat akhir pekan. Aku menjadi pusat perhatian karena membawa sepedaku masuk ke dalam kereta yang kelewat bersih, atau karena celanaku yang kelewat kotor terkena oli dari  gerigi sepeda yang lupa kubersihkan semalam. Sama saja, dua-duanya menjadi alasan mengapa aku terlihat tidak bersama kerumunan dalam kereta ini. Aku berusaha memejamkan mata, mematikan salah tingkah dan menghalau pandangan mereka terhadap celanaku yang kotor. Pemberhentianku terpaut sepuluh Stasiun dari Universitas Indonesia, Stasiun Sudirman adalah salah satu yang menjadi denyut nadi pembawa pekerja-pekerja komuter dari kota satelit menuju cubicle masing-masing pada hari kerja.

Hari itu sedang ada Car Free Day. Hari dimana jalan-jalan di beberapa daerah ditutup dan digunakan untuk sarana olahraga pada jam-jam tertentu. Aku beruntung datang ke jakarta saat CFD ini sedang berlangsung. Kita dapat melihat wajah Jakarta yang lain di sini. Gedung-gedung menjulang yang mendadak sepi dan dingin dilindungi oleh kaca tebal serta lampu lobby yang berbinar. Menyejukkan banyak pasangan atau keluarga yang bertamasya dan berolahraga di jalan raya. Aku mengunjungi seorang teman lain yang gemar berkomunitas. Ya, selain untuk olahraga, CFD pun menjadi tempat favorit untuk berkomunitas. Banyak komunitas yang tumbuh dan berkembang di sini baik untuk melakukan pertemuan mingguan atau sekedar melepas rindu pada kawan yang se-hobi. Aku berkelakar dan bercanda bersama komunitas yang sudah lama tak ku jumpai lagi, Senang melihat banyak anak muda seperti mereka masih berkomunitas, Membangun jaringan pertemanannya masing-masing untuk masa depan, Siapa yang tahu teman di sebelahmu menjadi presiden suatu saat nanti, Tidak ada yang tahu. Tak terasa hari kian terik dan CFD akan segera usai, Gerbang kesunyian Jakarta akan kembali dibuka dan jalanan akan kembali penuh. Aku segera berpamitan pada teman dan komunitasnya.

RAGUSA Italian Ice Cream

Ragusa Dahulu
Yang menyenangkan saat hari terik? Bagaimana kalau es krim? Jakarta punya cerita es krim yang  lezat. Nama parlournya adalah Ragusa. Berada di Jalan Veteran I No. 10 dan sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Ragusa berasal dari nama keluarga Italia, yang datang ke Indonesia saat awal kemerdekaan untuk mempelajari taylor. Pada awalnya lokasi es krim Ragusa bukan berada di dekat mesjid Istiqlal seperti sekarang, melainkan di Pasar Gambir yang sekarang dikenal menjadi arena Pekan Raya Jakarta. Es krim Ragusa sudah ada sejak 1932. Orisinalitas resepnya dijaga sebaik mungkin hingga tidak menggunakan bahan pengawet dalam pengolahan es krimnya. Harganya cukup murah mulai dari Rp. 12.000 hingga Rp. 27.000. 
Spaghetti Ice Cream
Signature dishnya adalah Spaghetti Ice Cream, es krim vanilla berbentuk lembaran-lembaran  seperti mie dengan taburan cokelat dan kacang. Aku memesan itu sambil melirik kiri-kanan, Tempatnya tidak begitu besar, Pikirku. Dengan interior yang simple dan foto-foto es krim yang banyak, tempat duduknya cukup nyaman untuk makan berlama-lama. Namun jika akhir pekan ternyata cukup ramai dengan keluarga yang baru selesai bertamasya atau memang akan transit ke suatu tempat saat menikmati hari libur. Parlour es krim yang menyenangkan, Ucapku dalam hati sambil berjalan keluar dan menggunakan helm sepeda. Sedikit merasa tidak aman meninggalkan sepeda di pelataran luar.




Monumen Nasional

Monumen Nasional
Tidak jauh dari situ terlihat satu tiang panjang dengan sesuatu yang berkilauan di puncaknya. Ya, itu adalah Monas. Lokasi Parlour es krim Ragusa ini sangat dekat dengan Monumen Nasional. Monumen ini dibangun untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat yang merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda dahulu. Monumen ini terbuka sebagai museum dari pagi hingga setengah sore setiap harinya kecuali hari senin di minggu terakhir setiap bulannya. Disana ada relief sejarah yang menceritakan tentang sejarah Bangsa Indonesia, mulai dari singhasari dan majapahit hingga era pembangunan modern. Selain itu, ada juga Museum Sejarah Indonesia di dalam bagian bawah monumen yang menampilkan diorama-diorama perjalanan bangsa mulai dari jaman kolonial hingga jaman program Pelita dibawah pemerintahan Presiden Soeharto dahulu. Juga  ada ruang kemerdekaan, dimana semua benda yang memiliki nilai sejarah disimpan. Mulai dari naskah asli proklamasi, bendera asli yang dikibarkan saat 17 Agustus 1945, peta kepulauan Indonesia yang berlapis emas,  juga dinding yang bertuliskan proklamasi kemerdekaan bangsa. Semua dibuat megah dan mewah. Perpaduan teknologi, kemewahan dan sejarah yang dapat dibanggakan oleh Jakarta, bahkan Indonesia. Melihat semua ini, ternyata banyak sekali yang telah dikorbankan dan diperjuangkan hingga kita dapat berdiri sekarang. Terima kasih para pahlawan, atas jasamu yang membebaskan.

Taman Ismail Marzuki

Taman Ismail Marzuki
Awan sudah beringsut lagi saat aku keluar dari kawasan Monas. Baru saja panas, kini cuaca sedang mempersiapkan hujan. Tujuan selanjutnya adalah Pusat Kesenian Jakarta Taman ismail Marzuki, Letaknya tidak jauh dari Monumen Nasional, Bersepeda sekitar 15 menit ke arah timur hingga jalan Cikini Raya 73. Taman ini memiliki banyak teater modern, balai pameran, galeri, gedung arsip, dan juga bioskop.  Saat sedang berkunjungi ke sini, TIM sedang ramai dengan gelaran acara Asean Lirerary Festival. Aku memutuskan untuk singgah dan berjalan-jalan sejenak. TIM sepertinya memang tempat semua seni berkembang biak dengan bebas tanpa KB, Sepanjang jalan dari pintu masuk hingga ke venue acara banyak hasil karya yang dipajang di pinggir jalan. Asean Literary festival adalah festival yang bertema buku dan literatur, Banyak pecinta buku yang datang kesini, banyak juga workshop dan pembahasan mengenai sastra oleh pembicara-pembicara yang terkenal. Aku bermaksud menemui seorang kawan yang juga gemar menulis serta para penggiat puisi dan sastra. Menyenangkan dapat berkumpul dengan orang-orang yang sama-sama gemar menulis dan membacakan puisi. Tak lama berselang, awan menjatuhkan sedihnya, hujan turun cukup lama membasahi Jakarta di hari minggu yang tidak senggang. Memangkas waktuku yang terbatas di kota ini.

Metropole (Megaria)

Segera setelah hujan mulai mereda dan jalanan mengering, aku kembali melanjutkan perjalananku, waktu menunjukkan pukul setengah empat kala itu. Tinggal sedikit waktu yang tersisa dan masih ada banyak tempat yang belum terkunjungi di Jakarta Utara. Hujan yang menggigil tadi mendinginkan perut yang memang belum mengunyah makanan berat sejak tadi pagi, maka aku memutuskan untuk kembali berjalan sedikit ke arah Timur, sekitar dua kilometer dari TIM, tepat di seberang kawasan stasiun kereta Cikini.

Pempek Megaria
Di sini masih berdiri tegak gedung yang dahulu bernama Megaria, Bioskop tua dengan beberapa ruangan menonton yang terpisah dan makanan-makanan yang enak. Dahulu, Bioskop ini adalah tempat para mahasiswa berkumpul dan bernegosiasi atau membentuk aksi, mengingat letaknya dekat dengan kantor suatu partai dan banyak Universitas. Selain sejarahnya yang panjang, Megaria pun menjaga satu makanan yang tak kalah tua dengan sejarah gedungnya, makanan itu adalah pempek Megaria yang katanya paling enak di daerah Jakarta. Bayangan pertama saat mendengar megaria? Tempat makan yang kecil dan lawas berwarna putih kecokelat dengan kipas angin besar-besar yang berputar lamban, pelayan yang menggunakan dress pendek atau kemeja putih yang dimasukkan ke celana dengan dua saku di masing-masing dada. Meja-meja kayu yang mengkilat dengan pintu masuk tanpa pintu dan jendela tanpa daun jendela, Tempat makan yang mengundang nostalgia. Namun  zaman telah berubah, dan pempek megaria pun begitu. Maka aku menyandarkan sepedaku, masuk dan memesan tempat duduk tepat di sisi jendela yang tingginya sebahu. Tempat makannya kini ber-AC dan nyaman, hanya mungkin terlalu kecil untuk ukuran makanan populer Kota,  Harganya berkisar antara Rp 15.000 – Rp 30.000 rupiah untuk satu orang. Mungkin yang membedakannya dengan pempek lain adalah adonan yang digunakan, Mempunyai wangi yang khas. Jangan lupa kuahnya, itu juga enak. Tempat makan ini penuh dan selalu mondar-mandir, jadi aku tidak bisa berlama-lama.

Jakarta Kota

“Mari berangkat mengejar sunset di Utara”, ujarku. Metropole sangat dekat dengan stasiun Cikini, jadi untuk Menghemat waktu dan tenaga aku melipat sepeda lagi dan pergi lebih ke Utara menggunakan kereta ber-AC yang kelewat bersih seperti tadi pagi. Menuju kota Jakarta yang asli, Kota tua.

Hari terakhir di kota Jakarta, sudah dua hari dan aku mulai kelelahan hingga tertidur di kereta menuju Jakarta Kota. Stasiun Kota sendiri merupakan sisa peninggalan zaman Hindia Belanda, mulai dari sini hingga pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung priuk adalah kawasan wisata yang ditetapkan oleh pemerintah. Stasiun Jakarta kota mempunyai bentuk gedung yang setengah bulat lonjong besar, seperti bolu gulung jika dilihat dari udara mungkin. Beberapa kilometer jauhnya dari Stasiun Kota, rel menghubungkan kereta menuju stasiun yang tidak kalah tua. Kekasih jauh Stasiun Jakarta Kota, Stasiun Tanjung Priuk. Stasiun Tanjung Priuk juga merupakan salah satu obyek wisata yang bisa di kunjungi saat berada di Jakarta. Secara keseluruhan semua obyek wisata yang ada di Jakarta bagian Utara ini menceritakan satu hal yang sama, perjalanan dan sisa-sisa kejayaan Batavia pada zaman kolonian Hindia Belanda. Keluar dari Stasiun Jakarta Kota, kota ini sekilas indah, jika kita dapat mengaburkan pandangan pada kekumuhan yang ada di bawahnya. Berjalan-jalan kecil dengan pasangan ditemani lagu white shoes and the couple company berjudul vakansi mungkin sangat cocok menggambarkan keadaan Kota Tua  Jakarta sore itu.

Angin dan udara yang sejuk setelah hujan, tempat penjual mayang sari yang manis berwarna-warni, lampu-lampu kota yang sudah nyala walau belum gelap dan jalanan yang dibuat tidak beraspal, Terlihat menyenangkan bukan? Di sekitar Stasiun Kota banyak museum-museum tua yang bisa disinggahi dengan berbagai koleksi yang menarik. Namun saat aku tiba di kawasan kota tua ini jam menunjukkan pukul lima, Beberapa museum sudah mengunci pintu, kecuali beberapa galeri dan cafĂ© yang ada di sekitar lapangan besar di depan museum Fatahillah. Pelataran Fatahillah masih ramai dan nyaris penuh dengan para seniman yang mewarnai dirinya juga anak-anak yang bermain dengan pistol-pistolan sedangkan Ibu dan ayah duduk di tepian sambil menikmati sore. Jakarta adalah ibu kota dengan jumlah penduduk yang banyak dan tempat rekreasi terbuka yang sedikit. Mungkin itu alasannya mengapa setiap tempat  rekreasi yang ada selalu penuh. Satu setengah hari, dan aku belum menemukan tempat yang benar-benar nyaman di Jakarta.

Sunda Kelapa

Perahu-perahu besar menyandarkan sauh, mengikatkan tambat masing-masing dan para pekerja di atasnya melompat sambil berteriak-teriak, sedangkan yang di bawah bersiap untuk menangkap. Barang-barang diturunkan dari lambung kapal, pindah ke mobil-mobil yang hilir mudik keluar masuk. begitulah kegiatan pelabuhan Sunda Kelapa di kala sore hari menjelang. Aku duduk menikmati angin pesisir sambil memperhatikan mereka berkegiatan diterangi matahari yang sudah tidak lagi kuning. Bertahun-tahun lalu, jauh sebelum kelahiranku, di sini, para pedagang dari seluruh Asia bahkan Eropa datang dan berdagang, Kota yang dahulu sering disebut jamrud khatulistiwa, Negara yang selalu menjadi tujuan bangsa-bangsa besar, Bangsa yang memiliki seratus ribu potensi dan tak akan surut digali, gerbang menuju Perkulakan rempah-rempah yang menjadi candu bagi siapapun yang mencicipinya.

Sunda Kelapa kini
Kini, keadaan Sunda Kelapa sebagai bukti sejarah sudah mulai terlupakan. Pelabuhan besar yang dahulu menjadi gerbang tetap ada, Namun tanpa unsur estetika sama sekali, hanya ada galangan kapal dari beton yang di cor asal dan beberapa tiang pancang untuk jangkar serta perahu-perahu tua yang berlabuh di air setengah hitam yang dangkal berisikan banyak sampah. Benar-benar seperti pelabuhan bongkar muat biasa. Hanya sedikit keindahan sunset yang tersisa dan dapat dinikmati. Aku harap sedikit keindahan yang tersisa ini dapat dipertahankan, karena aku ingin membawa anak-anakku kembali suatu saat nanti. Untuk meperlihatkan sejarah ibu kotanya yang dulu pernah jaya.

Angin mulai mengencang seraya turunnya sang surya menuju peraduan, sudah mulai memerah rupanya. Dua orang wanita berjalan menenteng kamera, persis seperti juru kamera perang yang telah usai bertugas. Menajamkan runcing kamera masing-masing, menangkap setiap kegiatan yang sedang kuselami juga. Ternyata mereka berasal dari Jakarta, walau bukan etnis asli daerah ini. Usai kami berbincang. Pun sama denganku, mereka mencari sisa-sisa keindahan yang ada di Sunda Kelapa. Bagaimana etnik di kota Jakarta yang keras bertahan hidup dan beradaptasi selama bertahun-tahun. Namun aku dan mereka, merekam dengan senjata yang berbeda. Aku kata, Mereka Gambar. Kami berbincang mengenai banyak hal, seperti kawan yang pernah akrab dan lama tak bersua. Sambil menikmati sunset di geladak kapal yang kosong dan bergoyang. Matahari, berjalan sedikit lebih cepat hari itu. Meninggalkan siluet wajah masing-masing sebelum pergi.

Muara Angke

“Aku akan ke Barat”, ujarku pamit kepada dua orang wanita itu. Aku ingin melihat perkampungan pesisirnya sebelum meninggalkan Jakarta.

“Baiklah, nampaknya kita akan berpisah di sini”, tukasnya singkat.

Dan kami bertiga saling meninggalkan punggung tanpa ada kata selamat tinggal, Pelabuhan Sunda Kelapa cukup untuk saat ini. Tujuan terakhir di Jakarta adalah Muara Angke, letaknya di ujung Barat Jakarta, berdekatan dengan Pluit, sekitar enam kilo bersepeda dari Muara Angke.  Perjalanan menuju ke sana sudah gelap, aku hanya membawa reflektor sepeda bagian belakang, jadi aku lebih berhati-hati saat menemukan persimpangan, yang ada di dalam benakku saat mendengar Muara Angke adalah pelabuhan di pantai terbuka dengan kapal-kapal pengangkut ikan bergantian hilir mudik dan penadah yang mendirikan warung dari terpal menggunakan penerangan lampu lilin, kultur yang indah dan dapat dinikmati oleh mata. Setengah perjalanan menuju kesana, kenyataan tidak selalu seindah bayangan. Tepat di pesisir pantai, Apartemen-Apartemen tinggi menjulang, Mal-mal bertajuk baywalk dan beach side betebaran dimana mana, lampu gemerlapan memancarkan cahaya seperti bara api yang membakar dalam kemewahan, Ini seperti pergi ke dunia lain, Dunia dimana mahluk asing dengan make up tebal dan wangi parfum menyengat tinggal, dengan pesawat-pesawat berbentuk mobil lux berkilatan yang siap tinggal landas dibekali dengan kecanggihan dan segala fasilitas. Pesisir pantai pun tidak luput terkena peninggian modern, cukup mengecewakan memang untuk seseorang yang bersusah mencari keaslian jati diri suatu Kota.

Muara Angke terletak di belakang tembok tinggi apartemen dan mall. Tempat yang bisa dibilang cukup kumuh dan gelap. Dengan sedikit penerangan, bau amis laut, dan banyak ikan-ikan segar yang beterbangan kemana-mana, di lempar penjualnya menuju ember-ember yang diurutkan berdasarkan ukuran. Aku berhenti di penjaja otak-otak berbungkus daun pisang yang masih hijau di pinggir jalan, tepat berhadapan dengan tukang lempar ikan tadi, memperhatikan sirkus pemilahan ikan yang cepat namun akurat. Aku pun dengan cepat memakan puluhan otak-otak kecil yang terus dikipasi sampai hangat oleh ibu penjual yang sendalnya sama dengan anaknya.

Udang Merah
Di Muara Angke ini, ikan segar dapat dibeli sendiri dan dibakar sendiri dengan harga yang lebih murah dari biasanya. Aku mencoba dan mendapatkan udang merah serta udang cekrek dengan mahar Rp 100.000 serta biaya  kipas Rp 25.000. Nampaknya aku akan berhenti disini, Menghilangkan kekecewaan terhadap Jakarta yang lupa mengurusi pariwisatanya bersama udang-udang kecil yang sudah memerah diatas bara yang ungu, menutup senja terakhir di ibu kota. Jakarta, sebagai kota metropolitan mengerjakan tugasnya dengan baik, Tapi tidak pada wisata. Kecuali makanan serta udang merahnya yang ranum dan lezat, Aku suka.

Minggu depan, folding bike traveler akan berangkat dari kota pelupa Jakarta menuju kota yang sering di puji puja sebagai Paris dari Jawa, Kota dingin yang indah di cerukan gunung. Bandung dan selingkuhannya Lembang. Sebenarnya aku sedang mempersiapkan Ujian Tengah Semester saat menulis bagian mengenai Jakarta ini. Namun, Jadwal untuk folding biike traveling sudah tersusun hingga minimal satu setengah bulan ke depan. Semoga di perjalanan selanjutnya, kita dapat lebih menyelami bagaimana etnik suatu daerah bersahabat dengan daerahnya. Jadi, selamat belajar dan sampai jumpa di Posting berikutnya.





Yudith tri

Folding Bike Traveler  
@foldingtraveler



--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar